MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Mawaris
Dosen
Pengampu : DR. MAIMUN. S. Ag. M. HI
Oleh:
KELOMPOK
1
1.
Amiruddin
2.
Badrut Tamam
3.
Jamaluddin
4.
Rini Sulastiani
5.
Wardatul Amniyah
PRODI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2017
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR
ISI............................................................................................................ ii
BAB
I : PENDAHULUAN
A.
Latar belakang................................................................................................ 1
B.
Rumusan masalah........................................................................................... 2
C.
Tujuan............................................................................................................ 2
BAB
II : PEMBAHASAN
A. Sumber Hukum
Waris ................................................................................... 3
B. Asas-Asas Hukum
Waris............................................................................... 4
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kitab
terdahulu fiqh mawaris sering disebut dengan ilmu faraidh banyak para ‘ulama
menyatakan bahwa fiqh mawaris merupakan ilmu faraid
Pernikahan
itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan
rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan
menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu
akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang
lainnya.
Sebenarnya
pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan
kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan
antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si istri
dengan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua
keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala
urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah
segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari
kebinasaan hawa nafsu.
Berdasarkan latar belakang diatas adapun rumusan
masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa saja dasar-dasar kewarisan islam?
2.
Apa saja sumber-sumber dalam kewarisan?
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui asas-asas dalam waris
2.
Untuk mengetahui sumber hokum yang digunakan dalam kewarisan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sumber Hukum
Waris
Hukum Waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur
hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang .[1]
Sumber-sumber hukum yang
dijadikan dasar waris adalah:
1.
Al-Qur’an,
Al-Qur’an merupakan sebagian sumber hokum warisyang banyak
menjelaskan ketentuan-ketentuan faraid tiap-tiap ahli waris, seperti tercantum dalam surat An-Nisa’
ayat 7, 11, 12, 176.[2]
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ
مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا
تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبٗا
مَّفۡرُوضٗا ٧
Artinya:
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.(QS. An-Nisa’: 7)
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ
أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ
فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ
فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٞۚ فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٞ وَوَرِثَهُۥٓ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ
مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِي بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ
لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ
ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ١١
Artinya: Allah
mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya
(saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut
di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa
di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
۞وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن
لَّهُنَّ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ
مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا
تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ
مِمَّا تَرَكۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۗ وَإِن
كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ
فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ
فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ
دَيۡنٍ غَيۡرَ مُضَآرّٖۚ وَصِيَّةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٞ ١٢
Artinya:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak,
maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang
demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS.
An-Nisa’: 12)
يَسۡتَفۡتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ
يُفۡتِيكُمۡ فِي ٱلۡكَلَٰلَةِۚ إِنِ ٱمۡرُؤٌاْ هَلَكَ لَيۡسَ لَهُۥ وَلَدٞ وَلَهُۥٓ
أُخۡتٞ فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهَا
وَلَدٞۚ فَإِن كَانَتَا ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ وَإِن
كَانُوٓاْ إِخۡوَةٗ رِّجَالٗا وَنِسَآءٗ فَلِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۗ
يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ أَن تَضِلُّواْۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمُۢ ١٧٦
Artinya:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jikaseorang meninggal dunia,
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika
mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya
kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. (QS. An-Nisa’: 176)
2.
Al-Hadits
Hadits Nabi Muhammad SAW
yang secara langsung mengatur kewarisan adalah:
a.
Hadits nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari dalam al-Bukhariy,
Shahih al Bukhariy IV, (Kairo: Daar wa Mathba’ al-Sya’biy), hlm. 181;
Muslim dalam al-Nawawiy, Syarhu Shahihi Muslim, (Kairo: al-Mathba’
al-Mishriyah), hlm. 53.[3]
اَلْحِقُوْاالْفَرَائِضَ بِاَهْلِهَا فَمَا
بَقِيَ فَهُوَ لِاَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
Artinya: Berilah orang-orang yang mempunyai
bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-masing, sedangkan kelebhannya
diberikan kepada asabah yang lebih dekat, yaitu laki-laki yang lebih utama.
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
b.
Hadits dari ‘Umran bin Husein menurut riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan
al-Tirmdzi yang artinya:
“Dari ‘Umran ibn
Husein bahwa seorang laki-laki mendatangi nabi sambil berkata: bahwa anak
laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapatdari harta warisannya? Nabi
berkata: kamu dapat seperenam.”
c.
Hadits Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhariy, Muslim,
Abu Dawud, al-Tairmidzi, dan Ibnu Majah yang artinya:
“Dari Umar bin
Ustman dari Usamah bin Zaid Rasulullah saw:Orang muslim tidak berhak mewarisi
orang kafir, dan orang kafirtidak berhak mewarisi orang muslim.” (HR. al-Bukhari danMuslim).
3.
Sebagian kecil dari Ijma’ para ahli, dan beberapa masalah diambil
dari Ijtihad para sahabat.
Ijma’ dan Ijtihad sahabat, Imam Madzhab, dan para
mujtahid dapat digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalahmawaris yang belum
dijelaskan oleh nash dan Sharih.[4]
Misalnya :
Status saudara-saudara
bersama-sama dengan kakek, dalam al-Qr’an masalah ini tidak dijelaskan, kecuali
dalam masalah kalalah. Akan tetapi, menurut kebanyakan sahabat dan imam
madzhab yang mengutip pendapat Zaid bin Sabit, saudara-saudara tersebut
mendapat bagia waris secara muqasamah bersama dengan kakek.
B. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum
Kewarisan Islam pada dasarnya adalah hukum Allah SWT yang diturunkan untuk
kepentingan manusia. Sumber utamanya adalah Al-Qur’an, as-Sunnah serta ijtihad
para ulama’. Hukum kewarisan islam faraidh adalah salah satu bagian dari
keseluruhan hukum islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang telah
meninggal dunia kepada orang (keluarga) yang masih hidup.
Hukum
Kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang memperlihatkan bentuk
karakterstik dari Hukum Kewarisan Islam itu sendiri.
Asas-asas kewarisan islam tersebut antara lain:[5]
1. Asas
ijbari
2. Asas
bilateral
3. Asas
individual
4. Asas
keadilan berimbang
5. Asas
semata akibat kematian
1. Asas ijbari
Secara etimologi kata ijbari mengandung
arti paksaan (compulsary), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri.
Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah
meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut
ketentuan Allah SWT tanpa tergantung kepada kehendak ahli waris, sehingga tidak
ada satu kekuasaan manusia dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain.
Asas ijbari ini dapat dilihat dari
beberapa segi, yaitu:
a. Dari
segi peralihan harta.
b. Dari
segi jumlah harta yang beralih.
c. Dari
segi kepada siapa harta itu beralih.
Ketentuan ijbari ini dapat dilihat
antara lain dalam ketentuan surah An-Nisa’ ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi
seorang laki-laki ataupun perempuan mempunyai nasib dari harta peninggalan
orang tua dan kerabatnya. Kata nasib tersebut berarti saham, bagian atau jatah
dari harta peninggalan si pewaris.
Asas ijbari dalam kewarisan islam, tidak
dalam arti memberatkan ahli waris. Jika pewaris mempunyai utang yang lebih
besar daripada warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani membayar
semua utang pewaris itu. Berapa pun besarnya utang pewaris, utang itu akan
dibayar sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut. Jiak seluruh
harta warisan sudah dibayarkan, namun masih ada sisa utang, maka ahli waris
tidak diwajibkan membayar sisa utang tersebut. Kalaupun ahli waris hendak
membayar sisa utang tersebut, pembayaran itu bukan merupakan sesuatu kewajiban
yang ditetapkan oleh hukum, melainkan karena dorongan moralitas.
2. Asas
bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan
islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui
dua belah pihak. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki
dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.[6]
Asas bilateral ini secara tegas terdapat
dalam firman Allah surah an-Nisaa’ ayat 7, 11, 12, dan 176. Dalam surah
an-Nisaa’ ayat 7 berbunyi:
Artinya: “bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak pula bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa
seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayah dan pihak ibunya.
Begitu juga wanita berhak mendapat warisan dari pihak ayah dan pihak ibunya.
3. Asas
individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan
secara individual, dalam arti harta warisan dapat dibagi-bagi pada
masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya
masing-masing ahli waris menerima bagiannya tersendiri tanpa terikat dengan
ahli waris lainnya. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu
yang kemudian jumlahnya dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar
bagian masing-masing.
Sifat individual dalam kewarisan ini
dapat dilihat dari aturan-aturan Al-Qur’an yang berkaitan dengan pembagian
warisan itu sendiri.
Secara garis besar surah An-Nisaa’ ayat
7 menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan warisan dari
orang tua dan kerabat dekatnya, terlepas dari jumlah harta serta bagian yang
telah ditentukan.
Pengertian berhak atas warisan bukan
berarti warisan itu harus dibagi-bagikan. Bisa saja warisan itu dibagikan asal
dikehendaki oleh ahli waris yang bersangkutan atau keadaan yang menghendakinya.
Misalnya ketika seorang ahli waris menerima bagian warisan dari si pewaris,
maka seketika itu juga ia berhak atas penguasaan harta tersebut. Ia berhak
melakukan apa saja atau tidak melakukan terhadap harta warisan yang diterima,
kecuali ahli waris yang masih anak-anak atau belum mampu untuk mengemban
kewajibab atas pengelolaan harta warisan tersebut. Maka lebih baik tidak
diberikan secara penuh pengelolaannya meskipun secara hak, ia memiliki otoritas
penuh atas harta warisan tersebut.
Hukum kewarisan Islam adalah
satu-satunya hukum Allah yang kondisinya sangat terperinci baik tentang ahli
waris, bagian yang harus diterima oleh ahli waris, semuanya telah ditentukan
oleh Allah SWT. [7]
itu semua menunjukkan bahwa ada sisi pengawasan dan pemeliharaan atas hak-hak
individu dalam keluarga mengenai pembagian harta warisan.
4. Asas
keadilan berimbang
Kata adil
merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata “al-‘Adlu” yang dapat
diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbagan antara yang
diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya.
Sebagaimana pada ayat 11, 12, 176 surah
An-Nisaa’ secara rinci diterangkan kesamaan hak menerima antara anak laki-laki
dan anak perempuan, suami dan istri, saudara laki-laki dan saudara perempuan.
5. Asas
semata akibat kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peraklihan
harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya
berlaku setelah meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak
dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta
masih hidup serta segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik
secara langsung maupun terlaksana setelah ia mati, tidak termasuk ke dalam
istilah kewarisan menurut hukum Islam.
Pada asas tersebut menggambarkan bahwa
Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu, kewarisan
sebagai akibat dari adanya kematian dan tidak mengenal kewarisan atas dasar
wasiat yang dibuat pada saat pewaris masih hidup.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Harta warisan adalah harta yang dalam sitilah fara’id
dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan
oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainnya yang dibenarkan
Syara’
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang
ditinggalkandengan seadil-adilnya sudah diatur dalam islam, mencegah terjadinya
konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwa persaudaraan antar sesama keluarga
yang masih hidup.
Adapun asas-asas kewarisan adalah:
1. Asas
ijbari
2. Asas
bilateral
3. Asas
individual
4. Asas
keadilan berimbang
5. Asas
semata akibat kematian
DAFTAR
PUSTAKA
M. Isa Arief, Warisan dan Hibah. Jakarta:
Intermasa, 1990
Dian Khairul
Umam, Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 1999
Amir Syarifuddin, Hukum
Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media,2012
Moh. Muhibbin, Hukum
Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di
Indonesia. Sinar
Grafika: Jakarta, 2009
Suhrawardi, Hukum
Waris Islam. Sinar Grafika:Jakarta. 2007.
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam , Surabaya :
Pustaka Radja.
2016
[1] M. Isa Arief, Warisan dan Hibah. (Jakarta:
Intermasa,1990) hlm. 1
[2] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris.
(Bandung: Pustaka Setia,1999) hlm. 15
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan
Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media,2012) hlm. 12-13
[4] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris.
(Bandung: Pustaka Setia,1999) hlm. 15
[5]
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia. (Sinar Grafika: Jakarta, 2009). Hal 23
0 comments:
Post a Comment