About

Friday 24 March 2017

makalah Asas-Asas dan Sumber Hukum Waris Islam


MAKALAH
ASAS-ASAS DAN SUMBER HUKUM KEWARISAN ISLAM
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Mawaris
Dosen Pengampu : DR. MAIMUN. S. Ag. M. HI

Oleh:
KELOMPOK 1
1.        Amiruddin
2.        Badrut Tamam
3.        Jamaluddin
4.        Rini Sulastiani
5.        Wardatul Amniyah


PRODI: PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2017



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................ ii
BAB I : PENDAHULUAN
A.    Latar belakang................................................................................................ 1
B.     Rumusan masalah........................................................................................... 2
C.     Tujuan............................................................................................................ 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.    Sumber Hukum Waris ................................................................................... 3
B.     Asas-Asas Hukum Waris............................................................................... 4

BAB III : PENUTUP
A.    Kesimpulan.................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. 11





BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kitab terdahulu fiqh mawaris sering disebut dengan ilmu faraidh banyak para ‘ulama menyatakan bahwa fiqh mawaris merupakan ilmu faraid
Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsu.

Berdasarkan latar belakang diatas adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa saja dasar-dasar kewarisan islam?
2.      Apa saja sumber-sumber dalam kewarisan?


Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui asas-asas dalam waris
2.      Untuk mengetahui sumber hokum yang digunakan dalam kewarisan.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sumber Hukum Waris

Hukum Waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang .[1]

Sumber-sumber hukum yang dijadikan dasar waris adalah:

1.      Al-Qur’an,
Al-Qur’an merupakan sebagian sumber hokum warisyang banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan faraid tiap-tiap ahli waris, seperti tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12, 176.[2]

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا ٧


Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.(QS. An-Nisa’: 7)

يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوۡلَٰدِكُمۡۖ لِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۚ فَإِن كُنَّ نِسَآءٗ فَوۡقَ ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَۖ وَإِن كَانَتۡ وَٰحِدَةٗ فَلَهَا ٱلنِّصۡفُۚ وَلِأَبَوَيۡهِ لِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِن كَانَ لَهُۥ وَلَدٞۚ فَإِن لَّمۡ يَكُن لَّهُۥ وَلَدٞ وَوَرِثَهُۥٓ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ ٱلثُّلُثُۚ فَإِن كَانَ لَهُۥٓ إِخۡوَةٞ فَلِأُمِّهِ ٱلسُّدُسُۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِي بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍۗ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ لَا تَدۡرُونَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ لَكُمۡ نَفۡعٗاۚ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمٗا ١١

Artinya: Allah mensyari´atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana


۞وَلَكُمۡ نِصۡفُ مَا تَرَكَ أَزۡوَٰجُكُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهُنَّ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَهُنَّ وَلَدٞ فَلَكُمُ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡنَۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصِينَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۚ وَلَهُنَّ ٱلرُّبُعُ مِمَّا تَرَكۡتُمۡ إِن لَّمۡ يَكُن لَّكُمۡ وَلَدٞۚ فَإِن كَانَ لَكُمۡ وَلَدٞ فَلَهُنَّ ٱلثُّمُنُ مِمَّا تَرَكۡتُمۚ مِّنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ تُوصُونَ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٖۗ وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ فَإِن كَانُوٓاْ أَكۡثَرَ مِن ذَٰلِكَ فَهُمۡ شُرَكَآءُ فِي ٱلثُّلُثِۚ مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ دَيۡنٍ غَيۡرَ مُضَآرّٖۚ وَصِيَّةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٞ ١٢

Artinya: Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun. (QS. An-Nisa’: 12)

يَسۡتَفۡتُونَكَ قُلِ ٱللَّهُ يُفۡتِيكُمۡ فِي ٱلۡكَلَٰلَةِۚ إِنِ ٱمۡرُؤٌاْ هَلَكَ لَيۡسَ لَهُۥ وَلَدٞ وَلَهُۥٓ أُخۡتٞ فَلَهَا نِصۡفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ إِن لَّمۡ يَكُن لَّهَا وَلَدٞۚ فَإِن كَانَتَا ٱثۡنَتَيۡنِ فَلَهُمَا ٱلثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَۚ وَإِن كَانُوٓاْ إِخۡوَةٗ رِّجَالٗا وَنِسَآءٗ فَلِلذَّكَرِ مِثۡلُ حَظِّ ٱلۡأُنثَيَيۡنِۗ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ أَن تَضِلُّواْۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمُۢ ١٧٦

Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jikaseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 176)

2.      Al-Hadits

Hadits Nabi Muhammad SAW yang secara langsung mengatur kewarisan adalah:

a.       Hadits nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari dalam al-Bukhariy, Shahih al Bukhariy IV, (Kairo: Daar wa Mathba’ al-Sya’biy), hlm. 181; Muslim dalam al-Nawawiy, Syarhu Shahihi Muslim, (Kairo: al-Mathba’ al-Mishriyah), hlm. 53.[3]


اَلْحِقُوْاالْفَرَائِضَ بِاَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِاَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ
Artinya:  Berilah orang-orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya masing-masing, sedangkan kelebhannya diberikan kepada asabah yang lebih dekat, yaitu laki-laki yang lebih utama. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

b.      Hadits dari ‘Umran bin Husein menurut riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan al-Tirmdzi yang artinya:
“Dari ‘Umran ibn Husein bahwa seorang laki-laki mendatangi nabi sambil berkata: bahwa anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapatdari harta warisannya? Nabi berkata: kamu dapat seperenam.”

c.       Hadits Nabi dari Usamah bin Zaid menurut riwayat al-Bukhariy, Muslim, Abu Dawud, al-Tairmidzi, dan Ibnu Majah yang artinya:
Dari Umar bin Ustman dari Usamah bin Zaid Rasulullah saw:Orang muslim tidak berhak mewarisi orang kafir, dan orang kafirtidak berhak mewarisi orang muslim. (HR. al-Bukhari danMuslim).

3.      Sebagian kecil dari Ijma’ para ahli, dan beberapa masalah diambil dari Ijtihad para sahabat.
Ijma’ dan Ijtihad sahabat, Imam Madzhab, dan para mujtahid dapat digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalahmawaris yang belum dijelaskan oleh nash dan Sharih.[4]
Misalnya :
Status saudara-saudara bersama-sama dengan kakek, dalam al-Qr’an masalah ini tidak dijelaskan, kecuali dalam masalah kalalah. Akan tetapi, menurut kebanyakan sahabat dan imam madzhab yang mengutip pendapat Zaid bin Sabit, saudara-saudara tersebut mendapat bagia waris secara muqasamah bersama dengan kakek.


B.     Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
Hukum Kewarisan Islam pada dasarnya adalah hukum Allah SWT yang diturunkan untuk kepentingan manusia. Sumber utamanya adalah Al-Qur’an, as-Sunnah serta ijtihad para ulama’. Hukum kewarisan islam faraidh adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang (keluarga) yang masih hidup.
Hukum Kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang memperlihatkan bentuk karakterstik dari Hukum Kewarisan Islam itu sendiri. Asas-asas kewarisan islam tersebut antara lain:[5]
1.      Asas ijbari
2.      Asas bilateral
3.      Asas individual
4.      Asas keadilan berimbang
5.      Asas semata akibat kematian
1.      Asas ijbari
Secara etimologi kata ijbari mengandung arti paksaan (compulsary), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketentuan Allah SWT tanpa tergantung kepada kehendak ahli waris, sehingga tidak ada satu kekuasaan manusia dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain.
Asas ijbari ini dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:
a.       Dari segi peralihan harta.
b.      Dari segi jumlah harta yang beralih.
c.       Dari segi kepada siapa harta itu beralih.
Ketentuan ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan surah An-Nisa’ ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi seorang laki-laki ataupun perempuan mempunyai nasib dari harta peninggalan orang tua dan kerabatnya. Kata nasib tersebut berarti saham, bagian atau jatah dari harta peninggalan si pewaris.
Asas ijbari dalam kewarisan islam, tidak dalam arti memberatkan ahli waris. Jika pewaris mempunyai utang yang lebih besar daripada warisan yang ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani membayar semua utang pewaris itu. Berapa pun besarnya utang pewaris, utang itu akan dibayar sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut. Jiak seluruh harta warisan sudah dibayarkan, namun masih ada sisa utang, maka ahli waris tidak diwajibkan membayar sisa utang tersebut. Kalaupun ahli waris hendak membayar sisa utang tersebut, pembayaran itu bukan merupakan sesuatu kewajiban yang ditetapkan oleh hukum, melainkan karena dorongan moralitas.
2.      Asas bilateral
Asas bilateral dalam hukum kewarisan islam mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua belah pihak. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.[6]
Asas bilateral ini secara tegas terdapat dalam firman Allah surah an-Nisaa’ ayat 7, 11, 12, dan 176. Dalam surah an-Nisaa’ ayat 7 berbunyi:
Artinya: “bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak pula bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa seorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayah dan pihak ibunya. Begitu juga wanita berhak mendapat warisan dari pihak ayah dan pihak ibunya.
3.      Asas individual
Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dalam arti harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya masing-masing ahli waris menerima bagiannya tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris lainnya. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian jumlahnya dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing.
Sifat individual dalam kewarisan ini dapat dilihat dari aturan-aturan Al-Qur’an yang berkaitan dengan pembagian warisan itu sendiri.
Secara garis besar surah An-Nisaa’ ayat 7 menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak mendapatkan warisan dari orang tua dan kerabat dekatnya, terlepas dari jumlah harta serta bagian yang telah ditentukan.
Pengertian berhak atas warisan bukan berarti warisan itu harus dibagi-bagikan. Bisa saja warisan itu dibagikan asal dikehendaki oleh ahli waris yang bersangkutan atau keadaan yang menghendakinya. Misalnya ketika seorang ahli waris menerima bagian warisan dari si pewaris, maka seketika itu juga ia berhak atas penguasaan harta tersebut. Ia berhak melakukan apa saja atau tidak melakukan terhadap harta warisan yang diterima, kecuali ahli waris yang masih anak-anak atau belum mampu untuk mengemban kewajibab atas pengelolaan harta warisan tersebut. Maka lebih baik tidak diberikan secara penuh pengelolaannya meskipun secara hak, ia memiliki otoritas penuh atas harta warisan tersebut.  
Hukum kewarisan Islam adalah satu-satunya hukum Allah yang kondisinya sangat terperinci baik tentang ahli waris, bagian yang harus diterima oleh ahli waris, semuanya telah ditentukan oleh Allah SWT. [7] itu semua menunjukkan bahwa ada sisi pengawasan dan pemeliharaan atas hak-hak individu dalam keluarga mengenai pembagian harta warisan.
4.      Asas keadilan berimbang
Kata adil merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata “al-‘Adlu” yang dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbagan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya.
Sebagaimana pada ayat 11, 12, 176 surah An-Nisaa’ secara rinci diterangkan kesamaan hak menerima antara anak laki-laki dan anak perempuan, suami dan istri, saudara laki-laki dan saudara perempuan.


5.      Asas semata akibat kematian
Hukum Islam menetapkan bahwa peraklihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai harta masih hidup serta segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah ia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam.
Pada asas tersebut menggambarkan bahwa Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan yaitu, kewarisan sebagai akibat dari adanya kematian dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada saat pewaris masih hidup.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      Harta warisan adalah harta yang dalam sitilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainnya yang dibenarkan Syara’
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkandengan seadil-adilnya sudah diatur dalam islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan  ukhuwa persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup.
Adapun asas-asas kewarisan adalah:
1.      Asas ijbari
2.      Asas bilateral
3.      Asas individual
4.      Asas keadilan berimbang
5.      Asas semata akibat kematian


DAFTAR PUSTAKA

M. Isa Arief, Warisan dan Hibah. Jakarta: Intermasa, 1990
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia, 1999
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media,2012
Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif  di Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, 2009
Suhrawardi, Hukum Waris Islam. Sinar Grafika:Jakarta. 2007.
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam , Surabaya : Pustaka Radja. 2016


[1] M. Isa Arief, Warisan dan Hibah. (Jakarta: Intermasa,1990) hlm. 1
[2] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris. (Bandung: Pustaka Setia,1999) hlm. 15
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media,2012) hlm. 12-13
[4] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris. (Bandung: Pustaka Setia,1999) hlm. 15
[5]  Moh. Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif  di Indonesia. (Sinar Grafika: Jakarta, 2009). Hal 23
[6] Suhrawardi, Hukum Waris Islam. (Sinar Grafika:Jakarta. 2007). hlm 40-41.
[7] Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam , (Surabaya : Pustaka Radja. 2016).  hlm.  45

0 comments:

Post a Comment

Metode Dakwah

Daftar Isi KATA PENGANTAR 1 BAB I 3 PENDAHULUAN 3 A. Latar Belakang Masalah 3 B. Pembatasan Masalah 3 C. Rumusan Masalah 4 D. Tujuan Penulis...