BAB II
PEMBAHASAN

Thaharah menurut bahasa artinya bersih atau suci dari kotoran dan
najis. Sedangkan menurut istilah, thaharah adalah mengerjakan sesuatu yang
dengan hal itu kita boleh mengerjakan sholat, seperti wudhu, mandi, tayammum,
dan menghilangkan najis.
Media atau alat untuk bersuci banyak sekali. Salah satunya adalah
air (al-ma’), alat untuk menyamak (ad-dibqh), debu (at-turab),
menggosok (ad-dalk), menggaruk (al-fark), dan lain-lain. Semua
media bersuci ini akan kami bahas dan bicarakan keurgenannya secara detail
seperti di bawah ini.
A.
AIR (AL-MA’)
Pembahasan
tentang air lebih dikenal dan diketahui oleh khalayak umum daripada
pembahasan-pembahasan lain yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Air terbagi
menjadi beberapa macam, yakni air mutlak, air musta’mal, air yang
berubah karena benda suci, dan air yang bertemu dengan najis.
1.
Air Mutlak
Terkait
status hukumnya, air ini suci mensucikan, Artinya, air itu suci di dalam
dirinya sendiri dan mensucikan yang lain. Adapun yang termasuk kategori ini
antara lain sebagai berikut :
a.
Air Hujan, Salju, dan Air Embun
Merujuk pada
firman Allah,
وينزل عليكم من السماء ما ء ليطهر كم
Artinya : “Dan Allah menurunkan
kepada mu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu. (Al-Anfal
(8):11)”
b.
Air Laut
Merujuk
pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata: Seorang laki-laki
bertanya kepada Rasulullah, ia berkata, “Wahai Rasulullah kami sedang naik
kapal di laut, sementara kami membawa sedikit perbekalan dari air, dan jika
kami berwudhu dengannya kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air
laut?” Rasulullah menjawab,
هوالطهور
ماؤه الحل ميتته
Artinya : “Air laut itu suci dan mensucikan, bangkainya pun halal.”[1]
c.
Air Zamzam
Merujuk pada
hadis yang diriwayatkan dari Ali,
أن رسول الله دعا بسجل من ماء زمزم فشرب منه وتوضأ
Artinya
: “Bahwasanya Rasulullah berdoa dengan membawa timba besar berisi air
zamzam, kemudian beliau meminumnya dan berwudhu dengannya.”[2]
d.
Air yang Berubah-ubah (Mutaghayyir)
Air
yang berubah-ubah (mutaghayyir) karena terlalu lama mengendap atau
dikarenakan lokasinya, atau karena tercampur sesuatu yang umumnya tidak dapat
dipisahkan darinya, seperti enceng gondok dan daun pohon. Menurut kesepakatan
ulama, air tersebut tetap masuk dalam kategori air mutlak.
2.
Air Musta’mal
Air musta’mal
adalah air yang menetes atau terjatuh dari anggota tubuh orang yang berwudhu
dan mandi.
Status
hukum air tersebut suci seperti halnya air mutlak. Dengan demikian, tetap sah
apabila seseorang bersuci dengannya tanpa ada unsur makruh sama sekali. Hal ini
mengingat asal-usulnya yang suci dan mensucikan. Lagi pula tidak ada dalil yang
mengeluarkan air musta’mal dari status kesuciannya.
Status
kesucian air musta’mal ditetapkan berdasarkan hadis yang diriwayatkan
dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Rasulullah datang menjengukku ketika aku
sakit dan tidak sadarkan diri, kemudian beliau wudhu lalu meneteskan bekas air
wudhunya kepadaku, kemudian aku sadar.”[3]
3.
Air yang Berubah karena Benda Suci
Adalah
air yang tercampur benda yang suci, misalnya tercampur sabun, minyak za’faran,
dan air bunga mawar.
Status
air tersebut tetap suci lagi mensucikan (thahur), selama masih terjaga
kemutlakannya. Namun, jikalau air tersebut sudah dikalahkan oleh benda suci
yang mencampurinya, sehingga mengakibatkan kemutlakan air itu tidak mampu
mencakupinya. Dalam kondisi demikian, status air tersebut menurut pendapat tiga
imam pendiri mazhab (Imam Malik, Asy-Syafi’I, dan Ahmad) tetap suci namun tidak
lagi mensucikan.
Sementara
itu menurut Imam Abu Hanifah, air yang tercampur dengan benda yang suci tetap
suci dan mensucikan selama masih tetap di atas tempat tampungan dan alirannya,
meskipun telah berubah salah satu sifatnya. Namun, apabila air tersebut
sifat-sifatnya semua mengalami perubahan, dan atau ia keluar dari tempat
tampungan dan tempat alirannya maka ia sudah tidak sah lagi digunakan untuk
bersuci menurut kesepakatan seluruh ulama. Begitu pun air yang mengalami
perubahan pada namanya karena direbus atau dimasak bersama-sama benda yang suci
(misalnya air teh), sebab air demikian sudah tidak layak lagi menyandang nama
air mutlak.
4.
Air yang Bertemu dengan Najis
Air yang
demikian mempunyai dua kondisi, yaitu sebagai berikut :
Pertama, benda najis
itu mengubah rasa, warna, dan bau air. Dalam kondisi ini air tersebut sudah
tidak boleh lagi digunakan untuk bersuci menurut ijma’ ulama.
Kedua, air tetap
dalam kemutlakannya, dalam artian air itu tidak berubah sama sekali dari segi
rasa, warna, dan baunya. Dalam kondisi demikian, statusnya tetap suci lagi
mensucikan, baik air itu sedikit maupun banyak.
Sementara
itu, Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa jika air mencapai dua qullah
(kolam besar atau 175 liter) lebih, maka ia tidak terpengaruh oleh najis yang
mengenainya, namun jika di bawah itu maka ia menjadi najis. Dalam hal ini, ia
berpegang pada hadis narasi Abdullah bin Umar, bahwasanya Nabi bersabda: “Jikalau
air telah mencapai dua qullah (dua kolam besar) maka ia tidak mengandung
najis.” Hadis ini telah dishahihkan oleh Imam Ath-Thahawi, Ibnu Hibban,
Ibnu Khuzaimah, dan Al-Hakim.
Ø As-Su’r (Sisa/bekas Air Minum Hewan)
Pada
mulanya, as-su’r berarti air yang tersisa di dalam wadah setelah diminum
hewan. Namun kemudian, penggunaan istilah ini digeneralisir untuk menyebut
sesuatu yang tersisa dari segala sesuatu. As-Su’r ada beberapa macam,
diantaranya sebagai berikut.
1.
Air Bekas Minum Manusia
Statusnya
tetap suci, baik bekas minum orang Islam, kafir, junub, maupun yang sedang
menstruasi.
Adapun
yang dimaksud najis dalam firman Allah yang menyatakan,
إنما المشركون نجس
Artinya : “Sesungguhnya
orang-orang musrik adalah najis. (Qs. At-Taubah (9):28)”.
Adalah
najis dalam artian maknawi (immaterial), yaitu jika ditengok dari
sisi keyakinannya yang batil, dan tidak menghindari benda yang kotor dan najis;
bukan najis dalam arti material, yakni badan mereka najis. Buktinya, mereka
telah bergaul dengan umat Islam, para delegasi mereka juga telah datang
menghadap Rasulullah dan masuk ke dalam masjidnya, namun Nabi tidak pernah
memerintahkan untuk mencuci sesuatu yang tersentuh badan mereka.
Begitu
juga air sisa minum orang junub dan menstruasi. Diriwayatkan dari Aisyah ra.,
ia berkata: “Saat kondisi haid, aku minum, lalu aku menyerahkan (gelas minumku)
kepada Rasulullah, dan beliau langsung meletakkan bibirnya di atas bekas
bibirku.”[4]
2.
Air Bekas Minum Hewan yang Dimakan Dagingnya
Setetes
air ini juga tetap suci, karena air liurnya keluar dari daging yang suci,
sehingga ia pun ikut suci. Ibnu Al-Mundzir berkata: “Kalangan ahli ilmu telah
berijma’ dan tidak ada perbedaan pandangan (khilaf) di kalangan mereka,
bahwa air sisa/bekas minum hewan yang dikonsumsi dagingnya boleh diminum dan
digunakan untuk bersuci.”
3.
Air Bekas Minum Peranakan Keledai dan Kuda (Al-Baghl),
Keledai, Hewan Buas, dan Burung-Burung Predator
Statusnya
tetap suci, berdasar informasi hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam
kitab Al-Muwaththa’ dari Yahya bin Sa’id, bahwasanya Umar bepergian
bersama rombongan, di antaranya Amru bin Al-Ash. Sesampai di sebuah telaga,
Amru bertanya, “Wahai pemilik telaga, apakah binatang buas mendatangi
telagamu?” Umar menyela, “Jangan beritahu kita, sesungguhnya kita mendatangi
hewan buas, dan hewan buas mendatangi kita.”
4.
Air Bekas Minum Kucing
Statusnya
tetap suci berdasarkan hadis Kabsyah binti Ka’ab –yang kala itu menjadi istri
Ibnu Abu Qatadah, bahwasanya Abu Qatadah menemuinya, lalu ia menuangi gelas
minumnya, namun tiba-tiba datang seekor kucing yang meminumnya. Abu Qatadah
memberikan wadah itu kepadanya agar ia meminumnya. Kabsyah melanjutkan
ceritanya: Ia ternyata menyadari bahwa aku sejak tadi memperhatikannya (minum
air bekas minum kucing). Ia pun berkata, “Apakah kau merasa aneh denganku, hai
Kabsyah?” Aku jawab, “Ya.” Ia menukas, “Sesungguhnya Rasulullah pernah
bersabda, sesungguhnya ia (kucing) tidak najis, ia termasuk binatang-binatang
yang berkeliaran di sekitar kalian.”[5]
5.
Air Bekas Minum Anjing dan Babi
Air
bekas minum anjing dan babi hukumnya najis dan wajib dijauhi. Ini adalah
pendapat kalangan mazhab Hanafi, Imam Malik dalam satu versi, Imam Asy-Syafi’I,
dan Imam Ahmad. Mereka merujuk pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
bahwasanya Nabi bersabda,
إذا شرب الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبعا
Artinya : “Jika
seekor anjing minum dari wadah kalian, maka cucilah ia tujuh kali.”
Dalam hadis
lain:
طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات أولاهن بالتراب
Artinya : “Kesucian wadah salah seorang kalian jika dijilat anjing
adalah dengan mencucinya
sebanyak tujuh kali diawali dengan tanah.”
Hadis
ini mengimplikasikan kenajisan air bekas minum anjing, air liurnya najis, dan
binatang buruan yang ditangkap oleh anjing pemburu juga harus dicuci. Hal yang
sama menurut Imam Asy-Syafi’I dan Imam Ahmad berlaku pada babi, berdasarkan
firman Allah,
أولحم
خنزير فإنه رجس
Artinya : “atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor
(najis). (QS. Al-An’am (6): 145)”
Air bekas minum
babi dianggap najis karena selain najis ia juga kotor.
Terdapat macam-macam thaharah terutama dalam bidang najis, haid,
dan nifas. Berikut penjelasannya.
A.
NAJIS
Kata najis berasal dari
bahasa arabنجسا yaitu kotor atau terkena
sesuatu kotoran. Sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang dapat mencegah
sahnya dalam melakukan sholat, seperti : pakaian atau anggota tubuh yang
terkena kencing, dijilat anjing dan sebagainya.
1.
Macam-Macam
Najis
Dalam kitab fiqh disebutkan, bahwa najis itu dibagi menjadi 3,
yaitu :
a.
Najis
Mughalladhah, yaitu najis yang berat. Misalnya : air liur, kotoran, jilatan
anjing, dan babi.
b.
Najis
Mukfaffafah, yaitu najis yang ringan. Misalnya : air seni anak laki-laki yang
umurnya kurang dari 2 tahun dan belum makan apa-apa kecuali air susu ibu.
c.
Najis
Mutawassitah, yaitu najis yang tidak terlalu berat, artinya najis yang ada di
tengah-tengah antara najis mughalladhah dan najis mukhaffafah. Misalnya : najis
darah, nanah, air seni orang dewasa.
Adapun najis mutawassitah ini
terbagi 2, yaitu :
a.
Najis
Hukmiyyah, yaitu najis yang ditinjau dari hukumnya saja, karena najis tersebut
sudah tidak tampak lagi, baik rasanya maupun baunya. Misalnya : Najisnya air
seni yang telah lama kering .
b.
Najis
‘Ainiyyah, yaitu najis yang masih tampak wujudnya, rasanya maupun baunya.
Misalnya : Najisnya nanah, darah, kotoran dan sebagainya.
d.
Namun
sebagian para ulama menambahkan satu macam lagi yaitu najis yang dimaafkan,
disebut najis ma’fu. Najis ini terjadi karena adanya :
· Najis yang sedikit sekali. Misalnya : Darah nyamuk
· Debu yang tercampur dengan najis yang sulit dihilangkan. Misalnya :
debu yang beterbangan yang bercampur dengan najis-najis yang melekat pada
pakaian atau badan kita.
2.
Cara
Menghilangkan Najis
Badan, pakaian, ataupun tempat yang dipergunakan untuk beribadah
khususnya dalam sholat, maka hendaknya bersih, supaya apabila mengerjakan
sholat dapat menjadi sah. Oleh karena itu, agar benda tersebut bersih hendaknya
disucikan atau dihilangkan najis tersebut. Adapun cara mensucikan dari berbagai
macam najis tersebut adalah :
a.
Najis
Mughalladhah, sesuatu yang terkena najis yang berat ini, seperti pakaian kita
dijilat anjing, maka cara mensucikannya adalah benda yang terkena jilatan
anjing tersebut dicuci dengan air sampai 7x, salah satu dari 7x tersebut harus
memakai debu.
b.
Najis
Mukhaffafah, sesuatu yang terkena najis ringan ini, seperti najis air seni anak
laki-laki yang umurnya kurang dari 2 tahun dan belum makan apa-apa kecuali asi,
maka caranya cukup dengan memercikkan air pada benda yang terkena najis itu. Diriwayatkan
juga dari Ali, ia berkata: Rasulullah bersabda: “Air kencing bayi laki-laki
cukup diciprati, sementara air kencing bayi perempuan. dicuci.” Qatadah
menjelaskan: Hal ini jika mereka belum memakan makanan apa-apa. Jika sudah,
maka air kencing mereka tetap harus dicuci.”[6]
c.
Najis
Mutawassitah, sesuatu yang terkena najis ini, seperti air seni, kotoran ayam
dan sebagainya dilakukan dengan cara dicuci sampai hilang wujud, bau, rasa
maupun warna najis tersebut. Akan tetapi apabila bekasnya masih ada, sudah
berkali-kali dicuci dan tidak hilang juga, maka dapat dimaafkan (dapat dianggap
suci).
d.
Najis
Ma’fu, cara mensucikannya adalah cukup menghilangkan dengan air bila najis itu
kelihatan, dan jika tidak kelihatan, tidak dicucipun tidak apa-apa atau sah
untuk dipakai dalam sholat, karena najis itu telah dimaafkan.
B.
HAID
Menurut pengertian bahasa haid, adalah mengalir. Seorang wanita
disebut haid jika darahnya mengalir. Adapun yang dimaksud disini adalah darah
yang keluar dari kemaluan perempuan ketika dalam kondisi sehat, bukan karena
penyakit maupun akibat kehamilan.
1.
Macam-macam
Darah Haid
a.
Hitam
atau merah kental (tua)
Warna hitam atau merah kental (tua) adalah warna darah haid, dan
sudah disepakati oleh para ulama sesuai dengan sabda Rasulullah saw “Darah
haid itu berwarna hitam, berbau tidak sedap, dan terbakar.”
b.
Merah
Demikian juga dengan darah warna merah termauk darah haid, sebab ia
warna asli darah.
c.
Kuning
Warna kuning adalah apa yang dilihat wanita seperti nanah yang
berwarna kekuning-kuningan. Ada yang mengatakan jika warna kuning tersebut
terlihat pada hari pertama maka ia haid. Jika terlihat dihari akhir suci dan
bersambung dengan waktu haid maka tidak termasuk haid, sedangkan menurut
pendapat masyarakat umum ia termasuk haid , apapun keadaannya.
d.
Keruh
Warna keruh adalah adalah darah yang warnanya kekeruh-keruhan
(tengah-tengah antara putih dan hitam) atau bahkan sedikit kecoklatan.
e.
Abu-abu
Sementara warna abu-abu adalah warna seperti warna debu.
Semua warna darah tersebut adalah warna darah yang biasa keluar
pada hari-hari haid dan warna darah diatas tidak keluar di selain hari-hari
haid.
2.
Metode
Penetapan haid
Ulama berbeda pendapat mengenai batas maksimal dan minimal haid.
Pendapat yang mahsyur dikalangan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa tempo minimal
adalah tiga hari tiga malam. Sedangkan menurut Abu Yusuf, dua hari dan paling
lam tiga hari. Hasan meriwayatkan dari Abu Hanafiyah, tiga hari dua malam.
Batas maksimal sepuluh hari beserta
malamnya, tanpa ada perbedaan dalam mazhab. Ulama syafi’iyah berkata “tempo
minimal satu hari satu malam, dan paling banyak lima belas hari dan sudah
disepakati. Namun, biasanya enam atau tujuh hari berdasarkan kesepakatan ulama.
Akan tetapi, yang dijadikan acuan dalam hal ini adalah adat kebiasaan yang
berulang-ulang, ini bagi wanita yang mempunyai ritme haid yang teratur,
sedangkan bagi yang haidnya tidak teratur
maka ia dapat merujuk pada tanda-tanda yang menyertai
darah yang keluar.
Selain itu para ulama sepakat bahwa tidak ada batasan suci maksimal
yang memisah antara dua haid, akan tetapi mereka berselisih pendapat mengenai batas minimalnya. Sebagian ulama
menetapkan batas maksimal masa suci antara dua haid adalah 15 hari, sedangkan
yang lain berpendapat bahwa batas minimalnya adalah 13 hari. Namun tidak ada
dalil yang dapat dijadikan acuan dalam menetapkan batas minimal tersebut.
C.
NIFAS
Menurut arti bahasa nifas adalah persalinan. Sedangkan menurut
istilah, nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada saat
melahirkan atau setelahnya jika bayi lahir prematur. Dinamakan nifa karena
rahim bernafas dengan adanya anak atau karena keluarnya nafas, yaitu anak atau
darah segar, dan darah yang keluar bersamaan dengan lahirnya anak bukan
termasuk haid karena ia adalah tanda bersalin, dan bukan termasuk haid karena
ia mendahului keluarnya anak, tetapi itu adalah darah rusak.[7]
1.
Macam-macam
Darah Nifas
Hakikat nifas adalah ketika rahim sibuk dengan sang janin maka
darah haid terbagi menjadi 3 bagian. Pertama, yang paling jernih dan
baik adalah yang menjadi nutrisi bagi daging sang janin, karena anggota tubuh
berkembang dari air mani, sedangkan daging dari darah haid. Kedua, darah
yang kualitasnya dibawah yang pertama adalah darah yang menjadi susu dan
nutrisi bagi sibayi setelah melahirkan, dan yang ketiga, yang paling
buruk kualitasnya, yaitu darah yang keluar setelah bersalin. Oleh karena itu,
pada hakikatnya darah nifas juga bagian dari darah haid.[8]
2.
Metode
Penetapan Nifas
Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa batas minimal nifas tidak ada
batasan, tanpa ada perbedaan pendapat, bahkan jika ia melahirkan dan nifas
ketika sedang shalat maka shalat tersebut tidak wajib baginya karena nifas
adalah darah dari rahim, dan dalil telah menunjukkan bahwa setiap darah yang
keluar dari rahim setelah melahirkan, walaupun sedikit, tetap darah nifas,
tanda kelahiran. Dalil seperti ini tidak bisa kita jumpai pada masalah haid,
sehingga yang keluar sedikit dari rahim pada saat itu bukan haid. Jika ia sudah
bersih sebelum 40 hari, hendaknya ia mandi dan shalat karena secara zhahir ia
sudah bersih. Adapun kemungkinan munculnya kembali darah itu masih bersifat
perkiraan maka tidak boleh meninggalkan yang pasti karena sesuatu yang masih
belum pasti.
Tidak ada batasan minimal bagi wanita yang nifas menurut pendapat
tiga imam, begitu juga menurut kalangan ulama mazhab Hanafi dalam konteks
ibadah, sedangkan dalam konteks adat, Abu Hanafiyah menyatakan bahwa batas
minimalnya adalah 25 hari, sementara Abu Yusuf menyatakan 11 hari, dan Muhammad
As-Syaibani mematok 1 jam saja (sesaat).
Atas dasar ini, nifas dapat terjadi hanya sebentar saja. Jika
seorang wanita melahirkan kemudian darahnya terhenti seiring dengan lahirnya si
bayi, atau bahkan melahirkan tanpa mengeluarkan darah, maka habislah waktu
nifasnya dan sebagai konsekuensinya ia wajib melakukan semua yang dilakukan
oleh orang yang suci, yaitu puasa, shalat, dan yang lainnya.
Adapun batas maksimalnya adalah 40 hari. Pendapat ini dinyatakan
oleh kalangan ulama mazhab Hanafi, Ibnu Mubarak, Sufyan Ats-Tsauri, Imam Ahmad,
dan Asy-Syafi’i dalam versi yang dilansir At-Tirmidzi.
Mereka berargumentasi dengan hadits Abu Sahl Katsir bin Ziyad
Al-Aslami dari Missah dari Ummu Salamah, ia bercerita : Ibu-ibu yang selesai
melahirkan pada masa Nabi Muhammad saw duduk-duduk (tanpa melakukan ibadah)
setelah persalinannya selama 40 hari atau 40 malam.[9]
At-Tirmidzi mengatakan : Para ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi,
tabi’in dan generasi setelah mereka menyatakan bahwa wanita yang nifas boleh
meninggalkan shalat selama 40 hari kecuali jika ia telah bersuci dari nifas
sebelum waktu tersebut, maka ia harus mandi dan melaksanakan shalat. Jika ia
tetap melihat darah setelah 40 hari, maka kebanyakan ahli ilmu mengatakan
hendaklah ia meninggalkan shalat setelah 40 hari.
Sementara itu, disisi lain, kalangan ulama mazhab Maliki dan mazhab
Syafi’i berpendapat bahwa batas maksimal nifas adalah 60 hari. Pendapat ini
juga diriwayatkan dari Asy-Sya’bi dan Atha. Al-hasan Al-Bashri mengatakan :
Batas maksimal nifas adalah 50 hari.
Pendapat yang diunggulkan dalam hal ini adalah pendapat pertama
yang mengatakan bahwa batas maksimal nifas adalah 40 hari. Hadits yang
dijadikan sebagai sandaran oleh pengusung pendapat ini memiliki hadits penguat,
yakni hadis narasi Utsman bin Abu Al-‘Ash, ia berkata : Rasulullah saw memberi
rentang waktu 40 hari bagi ibu-ibu nifas dalam menjalani nifas mereka.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam bersuci hendaknya diperhatikan dahulu alat bersuci yang akan
kita gunakan, apakah alat bersuci tersebut masih suci atau bahkan sudah terkena
najis. Karena apabila saat kita akan bersuci dan ternyata alat bersuci tersebut
telah terkena najis, maka tidak sah atau sia-sia bersuci kita.
Pada wanita haid, perlu diperhatikan juga macam-macam darah haid
yang keluar dari kemaluannya. Karena warna darah haid bukan hanya merah kental
atau hitam saja, melainkan masih ada warna lain yang harus kita ketahui
warnanya. Selain itu pula, pada wanita haid juga harus bisa mengetahui kapan ia
akan haid dan kapan ia akan berhenti haid. Supaya dengan mudah ia mengetahui
berapa tempo haidnya dalam satu bulan. Walaupun dalam hal ini masih menuai pro
kontra, namun hal tersebut bisa dilihat pada kebiasaan wanita yang haid.
Apalagi tiap wanita memiliki tempo haid yang tidak sama.
Begitu pula untuk wanita yang baru saja melakukan proses persalinan
(nifas). Terdapat pula macam darah nifas yang harus di ketahui. Dan selain itu
pula harus bisa diketahui berapa lama ia menjalani masa nifasnya, agar setelah
itu ia bisa bersuci dan bisa melaksanakan kewajiban yang lainnya, yang biasa
dilakukan oleh wanita yang telah suci dari haid maupun nifasnya.
B.
Saran
Sebagai seorang manusia biasa hendaklah selalu memperhatikan
kebersihan alat yang akan digunakan ketika hendak bersuci. Walaupun tempo haid
antara wanita yang satu dengan yang lain berbeda, tapi setidanya kita telah
mengetahui batas minamal dan batas maksimal haid. Begitu pula dengan nifas
seorang wanita.
DAFTAR PUSTAKA
Mz, Labib. 2002. Tuntunan Sholat.
Surabaya : Cipta Karya. Cet III
Abd
Aziz Muhammad Azzam & Abd Wahhab Sayyed Hawwas. 2010. Fiqh Ibadah. Jakarta
: Amzah : Cet II
Shalih, Su’ad Ibrahim. 2011. Fiqh
Ibadah Wanita. Jakarta : Amzah
Muhaimin Azzet, Akhmad. 2010.
Tuntunan Sholat. Jogjakarta : Darul Himah
W.Alhafidz,
Ahsin. 2013. Kamus Fiqh. Jakarta : Amzah
[1] Muwaththa’ Malik (I/22), Sunan Abu Dawud (83), Sunan At-Tirmidzi
(69) Sunan An-Nasa’i (I/50), Sunan Ibnu Majah (386). Imam At-Tirmidzi
mengatakan: Hadis ini hasan dan shahih. Dan hadis ini juga dinyatakan shahih
oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim.
[2] HR. Abdullah bin Ahmad, dalam Zawa’id Al-Musnad (I/76 Al-Musnad)
[3] Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari Bab Al-Wudhu dan Muslim Bab Al-Faraidh
[4] Shahih Muslim (300) Kitab Al-Haidh
[5] Al-Muwaththa’ (I/23), Sunan Abu Dawud (75), Sunan At-Tirmidzi (92),
Sunan An-Nasa’i (I/55), Sunan Ibnu Majah (367). Imam At-Tirmidzi mengatakan:
Hadis ini adalah hadis hasan shahih. Al-Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
dan Al-Hakim juga menyatakannya sebagai hadis shahih
[6] HR. Ahmad, dan redaksi
diatas adalah versi riwayatnya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh para perawi
penyusun kitab Sunan kecuali At-Tirmidzi. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam
Fath Al-Bari bahwa sand-sanadnya shahih.
[9] HR. Ahmad, Abu Dawud (311), Ibnu Majah, Al-Baihaqi (1/341), Ad-Daruquthni,
dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (1/175) dengan komentar sanadnya shahih, serta
oleh At-Tirmidzi dalam sunannya (1139) disertai komentar : kami tidak
mengenalnya kecuali dari hadits Abu Suhail dari massat dari Ummu Salamah
Muhammad bin Ismail, Yaitu Al-Bukhari berkata : Abu Suhail adalah tsiqah.
[10] HR. Al-Hakim (1/175), Ad-Daruquthni,
dan Ath-Thabrani. Ini adalah hadits dha’if.
Namun, Al-Hakim menyatakannya shahih jika memang diterima dari Abu Musa
Al-Asy’ari. Sementara itu, Ad-Daruquthni mendha’ifkan Bilal, padahal Ibnu
Hibban memasukkannya dalam kelompok Ats-tsiqat (perawi-perawi terpercaya).
Hasan Al-Bashri tidak pernah mendengar langsung dari Utsman bin Al-Ash,
sehingga hadits ini dapat disebut munqathi’ yang mahsyur dari Utsman dari
perkataannya , hanya saj boleh beramal dengan hadits ini menurut para
sahabat Nabi dan generasi setelah
mereka. Adapun tokoh-tokoh yang mengatakan batas maksimal nifas 40 hari antara
lain umar, Ibnu Abbas, dan Anas.
0 comments:
Post a Comment