About

Monday 14 May 2018

pengertian Ahwal

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Ahwal Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan, kondisi, situasi sesuatu (rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama. sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ahwal adalah suata kondisi jiwa yang diperoleh oleh kesucian jiwa. hal merupakan pemberian dari Allah Swt, bukan suatu yang dihasilkan manusia. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya. Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al- musyahadah, dan al-yaqin. B. Ahwal yang dijumpai dalam perjalanan sufi Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain : 1. Mawas Diri dan Waspada (Muhasabah dan muraqabah) Secara literal, muraqabah berarti menjaga, pengawasan, atau mawas diri. Sedang secara terminologis, Muraqabah (mawas diri) artinya pengetahuan hamba secara terus menerus dan keyakinannya bahwa Allah mengetahui zhahir dan batinnya. Muraqabah ini merupakan hasil pengetahuannya bahwa Allah Swt mengawasinya, melihatnya, mendengar perkataannya, mengetahui amalnya disetiap waktu dan dimanapun berada. Muhasabah seringkali di artikan dengan memikirkan,waspada, memperhatikan, dan memperhitungkan amal dari apa-apa yang ia sudah lakukan dan apa-apa yang akan ia lakukan. Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat.Oleh karena itu ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan.Waspada (Muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (Muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari – hari telah sesuai atau malah menyimpang dari kehendak-Nya. 2. Cinta (Mahabbah) Cinta atau mahabbah merupakan salah satu pilar utama islam dan inti dari ajarannya.Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan. Dalam pandangan Al-Junaidi, cinta didefinisikan sebagai “kecenderungan hati pada Allah Ta’ala, kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap ridha Allah tanpa merasa diri terbebani, atau menaati Allah dalam segala hal yang diperintahkan atau dilarang, dan rela menerima apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah. Mahabbah ini, disebut Allah dalam beberapa ayatnya: • Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui. (Qs. al-Ma’idah:54) • Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. al-Ali’Imran:31) Mahabbbah mempunyai tiga tingkatan a. Tingkatan pertama ini pada intinnya mengandung 3 hal yakni  Mengerahkan ketaatan pada Allah dan membenci sikap melawan kepada-Nya  Menyerahkan diri kepada sang kekasih secara total  Mengosongkan hati dari segala sesuatu yang dikasihi. b. Tingkatan kedua Adalah pandangan hati, keagungan, pengetahuan, dan kekuasaan-Nya. Itulah cinta orang yang jujur kepada Allah dan orang yang telah menemukan kebenaran dan pengetahuan sejati tentang tuhan. c. Tingkatan ketiga Adalah cintannya orang yang bersikap benar kepada Allah (shiddiqun) dan orang yang mengenal Allah dengan mata hatinnya (arifin). 3. Berharap (Raja’) Raja’ berarti suatu sikap mental yang optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-Nya yang shaleh,karena ia yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun.Imam al-Qusyairi mengatakan “Raja’ ialah terikat hati pada sesuatu yang diharapkan yang akan terjadi pada masa yang akan datang”. Raja’ berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh. Dalam pandangan Al Sarraj, Raja’ merupakan hal yang mulia. Kemuliaan hal ini ditunjukkan dalam firman-Nya, • Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab : 21). Firmannya yang lain • “Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan maka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”. (QS. Al-Isra’ : 57) Raja’ menuntut tiga perkara,yaitu : a. Cinta kepada apa yang diharapkanya. b. Takut harapanya itu hilang. c. Berusaha untuk mencpainya. Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara itu,hanyalah ilusi atau hayalan. 4. Khauf Khauf menurut ahli sufi bararti suatu sikap mental takut kepada allah karena khawatir kurang sempurna pengabdian.Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan. Imam Al-Ghozali membagi khauf menjadi dua macam: a. Khauf karena khawatir kehilangan nikmat. Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempaynya. b. Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan kemeksiatan. Khauf yang seperti inilah yang mendorong orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah. 5. Rindu (Syauq) Secara literal, syawq berarti lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Menurut Suhrawardi, syawq merupakan bagian-bagian dari mahabbah, seperti halnya zuhud bagian dari tobat. Jika mahabbah sudah mantab akan tampak pula syawq. Menurut Abu Utsman siapa yang cinta kepada Allah dia akan merindu hendak berjumpa dengan-Nya. Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan. Abu Ali Daqaq mengatakan “Syauq adalah dorongan hati untuk bertemu dengan yang dicintai dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya cinta dan cinta baru berakhir setelah melihat dan bertemu. Menurut Al Sarraj orang yang merindu itu terbagi atas tiga golongan. a. pertama adalah mereka yang merindu kepada janji Allah atas para kekasih-Nya tentang pahala, karamah, keutamaan, dan keridlaan-Nya. b. Kedua, mereka yang rindu kepada kekasihnya karena cintanya yang mendalam dan bersemayamnya rindu itu hendak bertemu dengan kekasihnya. c. Ketiga, mereka yang menyaksikan kedekatan Allah terhadap dirinya, Allah senantiasa hadir tidak pernah pergi, maka hatinya merasa senang walau hanya menyebut nama-Nya saja. 6. Intim (Uns) Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns adalah perbincangan roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yang sangat dekat. Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh kepada satu titik sentrum, yaitu Allah.Dalam pandangan sufi, sifat uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda mudi.Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata – mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di mana pun berada. Akangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharan Allah. Orang-orang yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan. a. Pertama, mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa. b. Kedua, Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya. c. Ketiga adalah hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘uns itu sendiri. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dalam ilmu Tasawuf, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Ahwal adalah kondisi seseorang yang yang menunjukkan kedekatannya kepada Allah Swt tanpa dilalui latihan-latihan spiritual. Dengan kata lain ahwal adalah kondisi atau status seorang hamba terhadap tuhannya yang merupakan anugrah dari tuhan, tanpa usaha berupa latihan maupun pembelajaran. B. Saran Demikian makalah ini kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan, guna memperbaiki makalah saya selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Amin, Ahmad. Dzuhrul Islam. jilid IV, Kairo: Maktabah al-nahdh al- Misriyah, 1964. Al-Ghazali, Ihya’ ulumuddin. jilid IV: Mathba’ah al-Amirat al- Syarfiyyah, 1909. Nasution, Harun. Filsafatdan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973. Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Jakarta: Bina ilmu, 1998.

0 comments:

Post a Comment

Metode Dakwah

Daftar Isi KATA PENGANTAR 1 BAB I 3 PENDAHULUAN 3 A. Latar Belakang Masalah 3 B. Pembatasan Masalah 3 C. Rumusan Masalah 4 D. Tujuan Penulis...